Jakarta - Gratifikasi seks sepertinya mendesak untuk diatur dalam UU. Ketua MK Mahfud menyatakan dia banyak menerima laporan mengenai gratifikasi seksual di kalangan pembuat kebijakan.
"Dan sekarang itu banyak orang membuat kebijakan diminta oleh perempuan nakal atau istri simpanan. Itu laporan ke saya banyak yang kayak begitu," ujar Mahfud tanpa merinci pejabat yang dimaksud.
Pernyataan itu disampaikan Mahfud usai acara Rakernas Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) di Bidakara, Jl Gatot Subroto, Jaksel, Minggu (13/1/2013). Acara tersebut dihadiri juga oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh dan Wakil Jaksa Agung Darmono.
Mahfud melanjutkan, suap modus birahi tersebut sudah marak sejak era Orde Baru. Hingga kini, Indonesia belum mempunyai landasan hukum untuk menindak pelaku gratifikasi seksual.
"Gratifikasi seksual itu kadangkala lebih dahsyat daripada gratifikasi uang," pungkasnya.
Seperti diberitakan, mantan pejabat di Singapura dijerat pidana lantaran menerima gratifikasi seks. Di Indonesia, gratifikasi seks tidak dikenal dalam UU. Mesk demikian, ide untuk meniru Singapura telah mengemuka.
"Di Singapura saja, pemberian pelayanan perempuan pemuas nafus itu bisa masuk gratifikasi. Menurut pendapat saya, di Indonesia juga bisa menerapkan itu," kata Wakil Ketua KPK Zulkarnain pada Rabu (28/11/2012)..
"Kenikmatan seksual itu kan juga bisa dinilai dengan uang. Di Indonesia harus berani memasukkannya. Bukan sekadar uang atau barang saja yang bisa dikatakan sebagai gratifikasi," ujarnya.
"Ini pendapat pribadi saya bukan atas nama lembaga. Tinggal penegak hukum lainnya, apakah berani juga memasukkannya sebagai gratifikasi," jelasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar