OBAT telah lama menjadi bahan perdebatan yang tak berkesudahan. Konsumen boleh saja adalah ”raja” dalam menentukan pilihan untuk hampir semua jenis barang dan jasa yang akan dibelinya, kecuali untuk soal obat: ia harus memasrahkan pilihan dan nasibnya pada ujung pena dokter.
Sejarah telah menunjukkan, otoritas meresepkan obat yang diberikan kepada profesi kedokteran terbukti kerap disalahgunakan. Ini menimbulkan pengobatan yang irasional dan merugikan konsumen. Ivan Illich adalah salah satu kritikus terkemuka yang berani mengungkap fakta buruk dunia medis di negara maju maupun miskin yang justru mengubah ”kesehatan” menjadi ”kesakitan”.
Awal dekade 1980-an jejak Illich diikuti para kritikus lain, seperti Dianna Melrose (menulis buku Bitter Pills-Medicines and the Third World Poor, 1982), Milton Silverman (Prescription for Death-The Drugging of the Third World, 1982), Charles Medawar (The Wrong Kind of Medicines, 1984), hingga John Braithwaite (Corporate Crime in the Pharmaceutical Industry, 1984). Mereka umumnya membongkar praktik-praktik penyuapan terhadap para dokter yang dilakukan oleh industri farmasi lokal hingga yang multinasional.
Sayangnya, para aktivis prokonsumen ini dan gerakan konsumen sedunia gagal menekan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengatur peresepan obat yang rasional. Alih-alih mengulang keberhasilan gerakan konsumen internasional menekan WHO dan Unicef mengatur pemasaran susu formula hingga tahun 1981 kedua badan PBB ini menerbitkan Kode Pemasaran Pengganti ASI, Dirjen WHO Halfdan Mahler asal Skandinavia yang sosialis tahun 1986 malah diganti oleh Dr Hiroshi Nakajima asal Jepang yang pernah bekerja di sebuah industri farmasi internasional.
Sejak itu gerakan konsumen untuk peresepan obat yang rasional kehilangan gereget. Apalagi dekade 1980-1990-an masyarakat dunia dipusingkan oleh pandemi AIDS. Kontrak-mengontrak industri farmasi dan dokter pun berjalan seperti biasa, bahkan kian parah. Obat-obat pun makin banyak diresepkan secara berlebihan (polifarmasi) dan tak rasional. Perusahaan farmasi swasta nasional lebih leluasa mengontrak para dokter karena margin keuntungan yang besar dari pembuatan ”obat-obat jiplakan” atau me-too drugs (Kompas, 22/11/2000).
”Caveat venditor”
Di tengah-tengah suasana ketidakberdayaan konsumen dan kokohnya hegemoni kuasa pena dokter ini, tiba-tiba stasiun televisi RCTI bulan Februari lalu meluncurkan rangkaian liputan ”Polemik Puyer” yang menghebohkan. Yang digugat dalam liputan eksklusif itu adalah praktik peresepan dan pembuatan puyer yang sudah menjadi tradisi berpuluh tahun di Indonesia. Sayangnya, liputan yang begitu spektakuler sempat direduksi menjadi kontroversi higienis tidaknya pembuatan puyer. Padahal, soal yang lebih substansial adalah masalah keamanan puyer (terutama bagi bayi dan anak-anak), rasional tidaknya dalam peresepannya karena mayoritas puyer adalah campuran banyak jenis obat (polifarmasi).
Adalah dokter spesialis anak, dr Purnamawati S Pujiarto, SpAK yang pertama kali mengungkapkan betapa praktik peresepan polifarmasi banyak diberikan untuk pasien anak-anak dengan sakit yang umum, seperti diare, panas, batuk-pilek, dan masalah infeksi saluran pernapasan. Kebetulan polifarmasi itu diberikan dalam bentuk puyer. ”Ada anak usia belasan bulan dengan demam karena flu diberi resep campuran sampai 12 jenis obat, termasuk antibiotik dan obat penenang,” tuturnya.
Padahal, menurut Purnamawati, 95 persen anak dengan sakit yang umum cukup diberi satu-dua macam obat saja. Polifarmasi bukan saja merupakan pemborosan biaya kesehatan, juga dapat menimbulkan efek samping yang dapat berbahaya bagi bayi atau anak-anak kecil.
Kini dengan semakin terdidiknya para orangtua muda, seyogianya para dokter dan apoteker lebih berhati-hati dalam meresepkan dan menyiapkan obat bagi bayi dan anak-anak.
Ketika Kompas mengunjungi Markas Sehat yang dikelola Yayasan Orangtua Peduli di Jatipadang, Jakarta Selatan, Minggu (1/3) petang, terlihat betapa para orangtua muda kini makin kritis terhadap rasional tidaknya peresepan yang dilakukan para dokter. Dalam masa serba internet seperti saat ini, seruan ”konsumen berhati-hatilah” (caveat emptor) sudah harus berganti menjadi ”produsen atau penyedia jasa berhati-hatilah” (caveat venditor).
Ahli farmakologi klinik FKUI, Prof Dr Rianto Setiabudy menyatakan, puyer dan polifarmasi adalah dua hal yang secara substansial berbeda. ”Hanya memang selama masih ada kebiasaan memberikan obat berupa puyer, maka itu menjadi persembunyian yang aman bagi polifarmasi yang tidak rasional. Puyer hendaknya tidak dijadikan sebagai cara pemberian obat yang rutin,” katanya.
Prof Rianto menyarankan kebiasaan meresepkan puyer polifarmasi harus dihilangkan perlahan-lahan. ”Kalau dikatakan tidak ada yang salah dengan puyer, maka 5-10 tahun ke depan budaya puyer akan tetap ada di Indonesia. Padahal, negara-negara yang lebih miskin daripada Indonesia sekarang sudah tidak memakai puyer,” ujarnya.
Betul bahwa dokter tetap mempunyai otoritas meresepkan obat, tetapi kebiasaan peresepan (prescribing habit) yang tak rasional dalam bentuk polifarmasi harus ditinggalkan. Apalagi jika itu dilakukan secara sengaja karena mengejar imbalan dari industri farmasi. Menurut Prof Rianto, kalau itu karena kurangnya pengetahuan dokter tentang obat-obatan, kompetensi dokter masih bisa dikembangkan oleh organisasi profesi kedokteran.
Kini memang adalah era ilmu kedokteran dan farmasi rasional yang berbasis bukti, bukan ”seni” meracik obat lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar