Jika sedang mengunjungi Kalimantan Tengah, jangan tertawa geli apalagi berpikir yang tidak-tidak jika ditawari wisata ke Tanjung Puting. Jangan ditolak, karena ini adalah tawaran wisata menikmati keindahan alam.
Tanjung Puting merupakan hutan tropis yang menyimpan beraneka ragam kekayaan flora dan fauna khas Kalimantan. Karena kepentingan melindungi dan menjaga kelestarian kekayaan alam tersebut, pemerintah meresmikan status hutan ini sebagai Taman Nasional pada 1982.
Taman Nasional Tanjung Puting seluas 415.040 hektar ini terletak di Kabupaten Kota Waringin Barat dan Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Di sini terdapat sekitar 6 ribu ekor hewan langka dan dilindungi, orangutan. Jelas ini populasi orang utan terbesar di dunia.
Penulis pun tak ingin membuang kesempatan mengunjungi Taman Nasional Tanjung Puting. Pada Selasa pagi 22 November 2011, pukul 07.30 wib, penulis berangkat dari Pelabuhan Kumai ke Taman Nasional Tanjung Puting menggunakan speedboat menyusuri sungai Sekonyer.
Sebenarnya bisa juga menumpang perahu kelotok, namun perjalanan akan makan waktu tiga jam. Dengan menggunakan speedboat, perjalanan menyusuri sungai Sekonyer itu ditempuh hanya dalam waktu satu jam.
Petugas Balai Taman Nasional Tanjung Puting, M Taufik, menjelaskan bahwa kebanyakan yang memilih pakai perahu kelotok itu wisatawan asing. "Biasanya bule yang sewa perahu kelotok, mereka ingin lebih menikmati perjalanan sih kayaknya," kata Taufik.
Rata-rata dalam sebulan, lanjut Taufik, ada 200 kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Tanjung Puting. Paling banyak atau sekitar 90 persen di antara itu, adalah kunjungan wisatawan asing.
Wisata ke Taman Nasional Tanjung Puting tak murah. Taufik menjelaskan, tarif sewa speedboat adalah Rp500 ribu untuk mengangkut wisatawan Taman Nasional Tanjung Puting dari dan kembali ke Kumai. Satu speedboat bisa muat 4 orang. Sedangkan sewa perahu klotok adalah Rp1,5 juta karena kapasitas muatannya lebih besar, bisa sampai 20 orang.
Untuk masuk ke Taman Nasional Tanjung Puting, tambah Taufik, dikenai tarif lagi. "Rp20ribu untuk setiap orang masuk Taman Nasional Tanjung Puting, tapi itu untuk orang asing. Kalau untuk orang lokal tarifnya Rp5 ribu," kata Taufik.
Pembedaan harga tiket masuk tersebut untuk dapat menarik lebih banyak wisatawan domestik berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting. "Tapi tetap saja selama bertugas di Balai Taman Nasional ini, saya lihat jarang orang lokal, kebanyakan orang asing yang datang," kata Taufik.
Begitu tiba di Taman Nasional Tanjung Puting, penulis langsung melihat seekor orangutan duduk di tepian dermaga. Orangutan itu kemudian segera menghampiri penulis dan rombongan yang baru saja turun dari speedboat.
"Itu Siswi, dia memang sudah biasa sama manusia, nggak usah takut," kata Icang agar penulis tak perlu panik didekati orangutan itu. Icang merupakan salah seorang manajer di Camp Leakey.
Adapun Camp Leakey adalah bagian dari area Taman Nasional Tanjung Puting yang kerap digunakan untuk penelitan dan observasi orangutan. "Orang-orang yang penelitian soal orangutan sering datang ke Camp Leakey, sudah banyak peneliti yang kemari," kata Icang.
Di dalam Camp Leakey ada sebuah rumah terbuat dari kayu yang dijadikan kantor Dr. Birute Mary Galdikas. Dr. Galdikas merupakan pendiri yayasan Orangutan Foundation International (OFI), yang sejak 1970 bergiat pada penelitian dan melakukan program-program berdedikasi melestarikan orangutan liar dan habitat hutan tropis.
Siswi adalah salah satu orangutan yang sudah akrab dengan manusia. Siswi merupakan orangutan betina yang sudah lama menetap di Camp Leaky. "Siswi kelahiran 1973, induknya namanya Siswoyo, dulu juga dari kecilnya di sini," kata Icang.
Siswi terus mendekati kami dan berusaha menarik perhatian. Berkali-kali Siswi difoto sendirian maupun bersebelahan dengan pengunjung. Tampaknya orangutan yang satu ini sangat suka dipotret dan menikmati suasana banyak kamera yang menyorotnya.
Tak lama kemudian muncul orangutan lain bergelayutan di antara pepohonan sambil menggendong anaknya. Icang mengenalinya dan memanggilnya untuk turun. Itu adalah Princess, orangutan betina kelahiran 1976. anak yang digendong itu berusia setahun, para pengasuh di Camp Leaky memanggil anaknya tersebut dengan nama Putri.
Menyenangkan sekali dapat melihat dari jarak dekat Putri tampak digendong oleh Princess yang bergelayutan di pohon dan berpindah dari satu dahan ke dahan lain. "Kalau Putri menangis, tapi si Princess nggak peduli, si Siswi yang marah," kata Icang.
Jika sudah begitu, lanjut Icang, Siswi akan mengejar Princess dan memukulinya. Siswi tak akan berhenti melakukan itu sampai Putri digendong oleh induknya tersebut.
Tampak juga beberapa ekor babi hutan berkeliaran di sekitar posko pusat informasi Camp Leakey. Seorang dari rombongan kami bertanya, apakah babi hutan itu jinak dan tak menyeruduk jika didekati? "Tergantung," Icang menjawab sembari tersenyum. "Tapi sebaiknya jangan didekati."
Icang menjelaskan bahwa selain orangutan, di hutan Taman Nasional Tanjung Puting juga terdapat bekantan, kera ekor panjang, harimau, dan beraneka ragam spesies burung. Jika ingin masuk lebih jauh lagi ke dalam hutan, pengunjung bakal disuguhi pesona kekayaan satwa dan tumbuhan langka.
Waktu saat itu menunjukkan pukul 10.30 WIB. Sayang sekali waktu tidak memungkinkan. Rombongan kami mesti mengejar jadwal penerbangan pesawat di Bandara Pangkalan Bun pada siang itu untuk kembali ke Jakarta. Perjalanan menyusuri sungai Sekonyer ke Pelabuhan Kumai saja sudah memakan waktu sejam, ditambah lagi perjalanan dari Pelabuhan Kumai ke Bandara Pangkalan Bun adalah sekitar sejam.
Kami pun segera bersiap untuk kembali ke Kumai. Ketika berjalan menuju speedboat, kami melihat tiga kera ekor panjang sedang saling terjang di ujung dermaga. Tampaknya kera-kera itu sedang bersenda gurau. Hanya sebentar kami bisa menikmati memandang kera ekor panjang itu, karena begitu sadar dengan keberadaan kami kera-kera tersebut langsung melompat ke pepohonan rawa dan menghilang dari pandangan.
"Kalau mau lebih banyak lihat kera-kera ekor panjang, bekantan, burung-burung, mendingan sore di atas pukul 4. Itu jam mereka keluar dan bertengger di dahan-dahan dan ranting-ranting pohon. Kalau berangkat dari Kumai-nya sore, mereka sudah kelihatan di pohon-pohon sepanjang sungai Sekonyer. Suaranya juga ramai, mereka sahut-sahutan," kata Taufik.
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar