Selasa, 15 Januari 2013

Bisnis anak cucu konglomerat indonesia?

 Mau tau bisnis anak cucu konglomerat indonesia?
Sejak lahir mereka telah berkubang kemewahan dan mewarisi kerajaan bisnis keluarga. Toh, tak semua tertarik menjadi putra mahkota. Ada juga yang lebih senang menorehkan jejaknya sendiri. Bagaimana kiprah mereka?

Kalian berhak berusaha menjadikan diri seperti mereka
Namun jangan pernah menjadikan mereka seperti kalian
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur
Dan tidak pernah pula tenggelam di masa lampau
Kalian adalah busur
Dan anak-anak itu adalah anak panah yang meluncur

(Kahlil Gibran dalam Sang Nabi).


Anak-anak panah”? itu memang telah melesat, bahkan mungkin mengorbit menggapai langit, melampaui batas harapan orang tua. Ada yang mengikuti jejak orang tuanya menjadi pebisnis bahkan mewarisi bisnis yang telah dirintis orang tuanya. Sebut saja Anthony Salim. Anak taipan Sudono Salim ini telah lama malang melintang menjadi nakhoda di imperium bisnis Grup Salim. Anthony tercatat sebagai CEO PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Begitu juga Michael Joseph Sampoerna yang didapuk menempati pos sebagai CEO PT HM Sampoerna Tbk. di usianya yang menginjak 25 tahun. Hal yang sama dialami Anindya Novian Bakrie, Luckyto Wanandi, Jeffry Jan Dharmadi, Agus Salim Pangestu, Purnomo Prawiro, Noni Purnomo dan Dandy Rukmana, yang diserahi tampuk kekuasaan oleh generasi sebelumnya (lebih rincinya lihat Tabel).

Namun sepertinya air cucuran hujan tak selalu jatuh ke pelimbahan. Anak-anak atau cucu konglomerat ini tak semuanya tertarik untuk bergabung di perusahaan keluarga yang notabene telah dibangun dan dibesarkan oleh sang orang tua dengan — boleh jadi — cucuran air mata dan darah. Meski mengikuti jejak orang tua menjadi pebisnis, ternyata ada juga anak-anak konglomerat ini yang lebih enjoy mengibarkan bendera sendiri.
Sebut saja Dian Muljadi. Putri Kartini Muljadi — salah satu pemilik Tempo Scan Pacific Tbk. — ini sukses membentangkan kerajaan bisnisnya sendiri bersama sang suami, dan Adiguna Sutowo lewat Mugi Rekso Abadi. Anak Sudwikatmono, Agus Lesmono, pun memilih membangun bisnisnya sendiri dengan membangun Grup Indika. Meski hampir semua anak Sudono Salim ikut cawe-cawe di Grup Salim, para cucunya ternyata lebih asyik membangun bisnisnya sendiri. Lihat saja kiprah Fransisca Liem dengan butik Hermesnya. Cucu Om Liem ini sepertinya emoh bergabung dengan kerajaan bisnis moyangnya yang sudah menggurita di berbagai sektor bisnis. Setali tiga uang, Ronald Liem malah nyemplung ke bisnis media dengan mendirikan Majalah Prestige Indonesia, majalah lisensi asal Singapura.

Ada juga konglomerat yang justru tak menginginkan anaknya ikut terjun di bisnis keluarga. Bambang Rachmadi, misalnya. Pemilik jaringan waralaba McDonald’s di Indonesia ini melarang anaknya terlibat dalam bisnis yang dirintisnya. Bambang lebih senang bisnisnya diurus oleh profesional, sedangkan anaknya diberi modal dan keleluasaan untuk merintis bisnis sendiri.

Mereka adalah anak-anak kehidupan yang merindukan kehidupannya sendiri. Generasi penerus konglomerat ini ada juga yang justru memilih mengaktualisasikan diri dengan merentas karier sebagai profesional di perusahaan lain, memilih menjadi seniman, bahkan terjun ke kancah politik sebagai anggota DPR. Paquita Widjaja, Sasya Tranggono dan Astrid Salim memilih menjadi seniman ketimbang pebisnis. Begitu pula Sjakon George Tahija yang lebih suka menggeluti profesi dokter dan kemudian membangun klinik mata. Ada banyak mereka yang lebih memilih mengepakkan sayapnya di jalur yang mereka minati dan sukai. Anak-anak konglomerat ini sepertinya tak silau dengan jabatan mentereng di perusahaan besar milik orang tuanya. Mereka bahkan mau bersusah payah merentas karier atau membangun bisnisnya dari nol.

“Lakukan sesuatu yang kamu kenal dan membuatmu bahagia.” Nasihat itulah yang mengantarkan Paquita Widjaja menjadi seniman dan staf pengajar di Institut Kesenian Jakarta. Ketimbang meneruskan bisnis yang telah dibangun keluarganya, putri bungsu pasangan pengusaha papan atas Johnny dan Martina Widjaja ini justru memilih dunia seni sebagai aktualisasi dirinya. “Yang penting bagi orang tua saya adalah kerja keras, mencoba menjadi yang terbaik yang kami bisa,” tutur pemilik rumah produksi Ratna Sintesa Entertainment ini. Dan, Paquita telah membuktikan bahwa ia bisa eksis di dunia seni yang dipilihnya.

Menjadi yang terbaik di bidangnya. Itu pula yang diakui Sjakon diajarkan almarhun ayahnya, Julius Tahija. Sjakon menuturkan, sang ayah tidak pernah mengarahkan dirinya untuk menggeluti bidang tertentu. “Ia mengajarkan untuk menjalani sesuatu dengan baik dan melakukannya dengan excellent,” ungkap Sjakon Tahija, putra sulung mantan Dirut Caltex ini. Julius tidak pernah meminta anak-anaknya masuk dunia bisnis. “Anaknya mau masuk bisnis atau tidak, terserah. Tapi yang penting, mendapat pendidikan dari universitas yang baik dan di Indonesia,” ungkap dokter lulusan Universitas Indonesia ini.

Sebagai seorang nasionalis, rupanya Julius sangat percaya, pendidikan di Tanah Air tidak kalah bagus dari pendidikan luar negeri. Menimba pendidikan ke luar negeri baru boleh setelah menyelesaikan program S-1 di Indonesia. “Ketika saya memilih kedokteran, ibu saya yang menyambut dengan senang hati,” cerita kelahiran Jakarta, 17 September 1952 ini. Maklum, sang ibu tercatat sebagai salah satu wanita pertama dari Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Melbourne, Australia.

Pemilik Grup Gemala, Sofyan Wanandi juga seia sekata dengan Julius Tahija. Ia juga tipikal orang tua yang sangat mengutamakan pendidikan. “Saya bisa pukul anak saya kalau main-main dengan sekolahnya,” ujar eksponen Angkatan ’66 ini. Dalam pemikirannya, regenerasi bisnis tidak bisa dilepaskan dari pendidikan generasi berikutnya. Pendidikan formal harus lebih dulu diselesaikan dengan tingkat tertinggi yang bisa ditempuh. Tak heran, ketiga putranya lulus master sangat memuaskan dari perguruan tinggi tersohor di Amerika Serikat.

Sikap keras kepada anak-anak terutama dalam hal pendidikan juga diterapkan oleh Komisaris PT Wiraswasta Gemilang Indonesia, Albert Peter Batubara. Semua anaknya diberi target tinggi. “Kalau tidak bisa, ya mereka tidak bisa minta apa yang diinginkan,” ungkapnya. Kini, AP Batubara memetik buah dari sikap kerasnya puluhan tahun silam. Ketiga anaknya berhasil mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah favorit. Dan yang lebih membahagiakannya, mereka juga yang kini mengendalikan perusahaan yang dirintisnya.

Di mata pasangan Retno Iswara Tranggono dan Suharto Tranggono, pendidikan juga sangat penting. Senada dengan Julius Tahija, pemilik Grup Ristra ini tak memaksakan anak-anaknya mengikuti jejaknya sebagai pebisnis. Mereka mau mengukir masa depannya sebagai apa, monggo-monggo saja. Hanya saja, untuk urusan pendidikan, mereka berdua menempatkannya di tangga teratas. “Bagi kami, pendidikan anak sangat penting. Selama mereka masih memiliki keinginan untuk bersekolah, kami sebagai orang tua akan sangat mendukung,” ujar Retno Iswara Tranggono, Presdir Grup Ristra.

Tak mengherankan, ketiga anaknya mengantongi master dari universitas luar negeri. Anak sulung, Sasya Tranggono, 42 tahun, mengantongi sarjana dari Universitas Syracuse New York, AS, dan MBA dari Universitas Erasmus, Belanda. Sementara anak nomor dua, Krishna N. Tranggono, 38 tahun, meraih gelar MBA dari George Towncity dan MSc. dari Universitas George Washington. Dan si bungsu Indira Parwitasari Tranggono, 33 tahun, memperoleh gelar dokter dari Universitas Diponegoro, Semarang, lantas menimba MBA di salah satu universitas di Inggris.

Retno dan Suharto boleh keras dalam hal pendidikan anak-anaknya. Namun, untuk urusan jalan hidup yang akan dipilih, mereka sangat demokratis. “Kami memberi kebebasan kepada semua anak untuk memilih jalan hidupnya sendiri,” tutur Suharto. Meski sejatinya mereka juga tetap menawarkan pilihan supaya mau meneruskan dan mengembangkan Ristra. Diakui Suharto, keinginan anak-anaknya bisa meneruskan bisnis yang telah dibangunnya bersama sang istri sudah menjadi sebongkah asa sejak anak-anak mereka kecil. Tak heran, anak-anaknya sejak kecil sudah dikenalkan dengan bisnis mereka. Bahkan, telah diberi tahu bahwa kelak merekalah yang harus melanjutkan dan menggulirkan roda bisnis Ristra. “Kami sudah lakukan upaya pengenalan dan mengajak, tetapi tidak ada tuntutan harus. Mereka sangat memahami keinginan kami,” papar Suharto. Menurutnya, kewajiban utama orang tua adalah mendidik dan membimbing. “Bukan memaksa mereka ikut dalam bisnis. Mereka mempunyai pilihan sendiri untuk menentukan masa depannya,” tambah Retno.

Dengan sikap demokratis itu, Retno dan Suharto tampak sangat legowo menerima pilihan ketiga anaknya. Setelah sempat beberapa tahun ikut membantu bisnis orang tuanya sebagai direktur pemasaran, toh akhirnya Sasya memilih jalur lain di luar skenario yang mungkin telah dirancang Retno dan Suharto. Ia memilih menjadi seniman. Namun, Sasya bisa membuktikan pada orang tuanya bahwa pilihan hidupnya tidak keliru. Ia tetap bisa menorehkan tinta emas di bidang yang digelutinya. Sebagai pelukis, Sasya adalah segelintir pelukis cat air yang memakai media kain sutra yang ada di Indonesia. Rupanya jiwa seni lebih kuat membetot dirinya sehingga ia lebih tertarik mengguratkan “cinta”? pada kanvas ketimbang berbisnis.

“Mengapa mesti kecewa, itu pilihan hidupnya,” tandas Retno dan Suharto. Diakui mereka sejatinya berharap anak sulungnya bisa turut mengelola Ristra. “Kami sangat bangga dengan pilihan dan prestasinya,” tambah Retno. Lagi pula, bukan berarti Sasya total meninggalkan Ristra. Jejaring Sasya yang sangat luas di luar negeri sangat bermanfaat bagi pengembangan Ristra. “Biarlah Sasya bahagia dengan pilihannya, dengan profesinya sebagai pelukis, toh kontribusinya bagi Ristra tetap ada,” papar keduanya saling menimpali.

Boleh jadi mereka tak memendam kekecewaan karena anak keduanya, Krishna, terlibat secara penuh di Ristra. Bahkan, dengan posisinya yang sekarang sebagai Deputi Presdir, sepertinya Krishna dipersiapkan untuk mewarisi tongkat kepemimpinan Ristra. Sementara Indira, yang lama bermukim di Singapura dan Inggris, diharapkan secepatnya bisa bergabung untuk turut mengelola Ristra. Maklum, seperti diakui Retno, justru anak bungsunya inilah yang sejak kecil paling antusias dan telah menunjukkan minat terhadap bisnis yang dilakukan orang tuanya. Indira kecil, tutur Retno, sangat serius memperhatikan ketika ia sedang meracik ramuan. Bahkan, kuliahnya pun memilih bidang kedokteran dengan tujuan nantinya bisa diaplikasikan di perusahaan orang tua. “Ia sempat menjadi tim ahli medis di Ristra, sebelum diboyong suaminya ke luar negeri,” tutur Retno.
Krishna yang bergabung dengan Ristra sepulang dari AS pada November 2002 memang belum optimal memperlihatkan performanya. Setahun belakangan Ristra memang terlihat agresif menggarap Ristra House. Paling tidak, ia telah memenuhi harapan orang tua untuk ikut mengurusi bisnis keluarga, dan boleh jadi ia pula yang kelak menjadi nakhoda Grup Ristra.

Mengikuti ayunan langkah orang tua untuk lebih membesarkan bisnis keluarga boleh jadi harapan semua orang tua. Dalam pandangan Bryan Tilaar, semua orang tua pasti menginginkan anaknya hidup baik dan sukses. Ia sendiri mengaku tertarik bergabung dengan Grup Martha Tilaar karena melihat bisnis consumer goods seperti beauty product dan servises ini memang sangat prospektif dari waktu ke waktu. Selain itu, ia juga memiliki obsesi Grup Martha Tilaar harus menjadi lebih besar dari yang sekarang. “Kalau generasi pertama sukses merintis, peran generasi kedua bersama generasi pertama yang masih aktif adalah menjadikan perusahaan maju beberapa langkah ke depan,” tandas Deputi Presdir Office Grup Martha Tilaar ini.

Meski bukan putra mahkota, Noni Sri Aryati Purnomo mengaku tertarik bergabung dengan Blue Bird Group (BBG) karena ada tantangan baru yang ditawarkan sang ayah, Purnomo Prawiro. Kelahiran Jakarta, 20 Juni 1969 ini diminta sang ayah — anak bungsu Mutiara Djokosoetono, pendiri BBG — untuk mengembangkan Divisi Pengembangan Bisnis BBG. Padahal, pada saat bersamaan ia mendapat tawaran bergabung dengan Johnson & Johnson, AS, seusai mengambil MBA di Universitas San Francisco. “Mungkin sudah nasib saya bergabung dengan Blue Bird,” ia mengungkap alasan lainnya sambil tertawa lebar.

Toh, sebagai salah satu cucu sang pendiri, Noni tak serta-merta menduduki posisi empuk. Sejatinya, Noni berkecimpung di BBG sejak di bangku SMA pada 1985 sebagai tenaga paruh waktu seperti staf data entry. Ia mengenang, saat itu ia digaji Rp 70 ribu per bulan. Ketika lulus S-1 dari Australia, Noni kembali menjadi tenaga paruh waktu di perusahaan keluarganya itu sebagai penyelia. Kendati di saat yang sama ia bekerja di Jakarta Convention Bureau (JCB). “Pagi bekerja di Jakarta Convention Bureau, sore sampai malam saya bekerja di Blue Bird,” kata peraih Bachelor of Engineering dari Universitas Newcastle, Australia ini.

Sejak bekerja di JCB, Noni yang lebih banyak mempelajari soal teknik industri mulai tertarik dunia pemasaran. Apalagi ia melihat di BBG belum ada strategi pemasarannya. Selama ini, para pendiri BBG lebih banyak menitikberatkan pada operasional yang dilandasi oleh kepercayaan masyarakat (pelanggan) dan kejujuran para awak Blue Bird, terutama yang di lapangan. “Itu yang menjadi kekuatan bisnis Blue Bird selama ini,” kata Noni yang menyelesaikan S-1 di Fakultas Teknologi Industri Universitas Trisakti.

Untuk memperdalam ilmu pemasaran, Noni berniat melanjutkan studi di AS. Ternyata sang ayah lebih sreg kalau putrinya mengambil finance. “Sebagai anak yang patuh, saya akhirnya memilih kedua mata kuliah tersebut,” kenang Noni. Usai menggondol MBA dan ditantang untuk mengembangkan divisi pengembangan bisnis, maka keinginan Noni ikut andil membesarkan perusahaan keluarga yang digulirkan sejak 1972 itu semakin mantap.

“Tugas inti divisi saya adalah strategi pemasaran,” ucapnya. Divisi yang baru dibentuk itu sangat pas, sejalan dengan bermunculannya brand-brand baru di BBG. Pasalnya, perusahaan ini tidak punya holding company sehingga merek-merek itu pun tidak terkelola dengan baik. Kerja keras Noni membangun strategi pemasaran BBG mebuahkan hasil. Saat ini BBG telah memiliki citra korporat, warna korporat, public relations, dan teknologi informasi yang lebih canggih. Bahkan, bidang TI juga terus dikembangkan oleh Noni sehingga lebih terintegrasi dan lebih canggih, seperti menggunakan sistem ERP di tahun 2000. “Dalam bekerja, saya berusaha sebaik mungkin. Saya merasa belum sukses, masih harus membangun teamwork (kerja sama tim) yang solid,” tandas Noni yang kini menjabat Vice President Pengembangan Bisnis BBG dan Direktur Grup Pusaka.

Peran orang tua dalam menempa semangat dan spirit diakui Noni sangatlah besar. Sejak kecil Noni sudah terbiasa dengan pembicaraan soal bisnis BBG. Lewat ajang makan malam bersama, kerap ayahnya menyisipkan edukasi nilai-nilai dan filosofi kehidupan. “Hal yang selalu ditekankan oleh Bapak kepada anak-anaknya adalah harus selalu bersyukur, bekerja keras, jujur dan disiplin. Selain itu, juga diajarkan kalau ingin sukses lihatlah ke atas dan lihatlah ke bawah agar bisa bersyukur,” demikian Noni menjelaskan petuah ayahnya yang selalu ia jadikan pegangan hidup.

Menurut Noni, nilai-nilai yang diterapkan sebagai budaya perusahaan BBG pun sejatinya berawal dari norma yang dipegang keluarga Mutiara Djokosoetono. Selain makan malam bersama, Purnomo sering pula mengajak anak-anaknya jalan-jalan, makan di luar atau nonton film saat hari libur. Saat-saat seperti itu pun, Purnomo sering membicarakan tentang kondisi bisnis BBG. Sementara di tempat kerja, Purnomo mempunyai cara tersendiri mengawasi anak-anaknya. Sang ayah biasanya langsung memanggil anaknya dengan cara menelepon atau meng-e-mail bila ada yang perlu dibicarakan.

Bahkan, setiap hari keluarga mereka, termasuk dengan Chandra Suharto, anak sulung pendiri BBG, dan anak-anaknya, sering makan bersama di ruang khusus di kantor. “Makan siang bersama di kantor itu sangat efektif untuk membicarakan bisnis Blue Bird. Di situlah terjadi rapat para pemegang saham,” papar Noni. Adu argumen di sela-sela makan siang kerap menjadi bagian dari santapan.

Sebenarnya, selain Noni ada empat cucu Mutiara Djokosoetono yang ikut bergabung mengembangkan BBG. Mereka itu dua orang putra Chandra Suharto (Preskom BBG). Krisna P. Djokosoetono sebagai Vice President Keuangan dan Sigit P. Djokosoetono, Vice President Operasional. Mereka berdua juga mengemban tugas yang sama sebagai Direktur Grup Pusaka.

Sementara dua adik kandung Noni yang ikut bergabung dengan BBG adalah Niniek Purnomo dan Adrianto Djokosoetono. Hanya saja, yang aktif hingga sekarang hanya Andrianto yang memegang bidang TI di BBG. Adapun Niniek lebih suka mengembangkan profesinya sebagai dokter. “Yang mengatur peran dan posisi kami adalah Pak Purnomo,” ujar Noni menyebut nama ayahnya dengan sebutan bapak kalau di kantor.

Sukses membangun karier di perusahaan keluarga juga diperlihatkan Ari Batubara. Sebagai Dirut PT Wiraswasta Gemilang Indonesia (WGI), Ari sepertinya tak mau menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan oleh sang ayah, AP Batubara. Dan, AP Batubara sepertinya tak keliru memilih Ari sebagai penerima tongkat estafet kepemimpinan di WGI. Terbukti dari prestasi yang berhasil ditorehkan Ari. Anak sulung ini tercatat mampu membenahi sistem informasi dan distribusi menjadi lebih baik, sehingga penjualan dan profit WGI meningkat sangat signifikan. Sejak 1998 sampai 2004, WGI membukukan peningkatan penjualan empat kali lipat.

Seperti Noni, Ari juga tak langsung duduk di singgasananya. Ari harus menjalani karier dari level bawah. Sebagai anak pemilik WGI, Ari ketika itu harus berkeliling, masuk-keluar bengkel. Hal yang sama dialami Lukyto Wanandi. Ia menjadi Direktur Pengelola Grup Santini setelah melalui proses yang sangat panjang. Ia memulai sebagai karyawan biasa di pabrik. Luky harus membuat laporan untuk atasannya, harus ikut stock-take di pabrik, sampai memanjat rak untuk menghitung stok di gudang. Dari pabrik, Luky diterbangkan ke Singapura untuk menjadi treasury officer dengan gaji hanya S$ 1.000. “Bisa dapat apa dengan gaji segitu,” ungkap Luki mengenang. Toh, ia selalu melihat gemblengan sang ayah itu sebagai pengalaman bekerja.

Cerita sukses anak konglomerat pun tak hanya mewarnai mereka yang mengikuti ayunan langkah orang tua. Di lintasan lain, banyak juga para pewaris kerajaan bisnis keluarga yang merentas sukses karena menorehkan jejaknya sendiri. Sebagai profesional, semisal Inghi Kwik. Dari nama belakangnya, orang pasti mafhum kalau ia anak Kwik Kian Gie. Hanya saja, Inghi rupanya lebih memilih menjadi profesional ketimbang mengikuti ayahnya sebagai pebisnis sekaligus politikus.

Anak konglomerat yang juga tak tertarik berbisnis adalah Sjakon. Ia memilih menjadi dokter. Padahal, ketika itu bisnis Julius Tahija mulai berkembang besar, termasuk Bank Niaga yang ketika itu masih dalam genggamannya. “Bisnis ayah saya ada yang lain, tapi yang paling utama adalah Bank Niaga,” kata Sjakon. Toh, Sjakon bersikukuh menjalani profesi dokter. Ia mulai menjadi dokter di Puskesmas, Flores, dan ia menjalani kariernya selama dua tahun (1981-83). Setelah itu ia mengambil spesialisasi mata dan sempat juga belajar ke AS. “Akhirnya saya mempelajari subspesialisasi bedah retina di Australia,” cerita Sjakon yang sempat menjadi staf pengajar di FKUI dan dokter di Jakarta Eye Center.

Setelah malang melintang sebagai dokter bedah retina, akhirnya Sjakon melirik juga dunia bisnis. Tahun 2004 ia mendirikan Klinik Mata Nusantara (KMN). “Saya mengawinkan antara kesenangan saya dan bisnis keluarga,” ungkap Sjakon. Klinik ini adalah bidang usaha kesehatan pertama dari Grup PT Austindo Nusantara Jaya yang merupakan cikal bakal perusahaan keluarga Tahija. “Saya pikir ada rasa tanggung jawab kepada orang tua, meski ayah saya tidak pernah meminta anaknya masuk ke bisnis. Terserah, anaknya mau ngapain,” ujar Sjakon yang di Austindo memilih menjadi komisaris.

Diakui Sjakon, ia dan George adiknya yang lebih dulu terjun di bisnis keluarga sebenarnya dituntun sang ayah untuk menggeluti etika bisnis. Misalnya, cara bisnis atau dagang yang dianggap benar secara etika. Menurutnya, ayahnya bukan tipe pebisnis yang memiliki prinsip mencari uang dalam waktu singkat. “Tetapi lebih ke arah pengembangan jangka panjang,” katanya.

Prinsip-prinisp semacam ini diberikan ayahnya ketika sedang berkumpul bersama. “Ketika kecil, ayah selalu pulang untuk sekadar makan siang berempat. Makan malam juga menjadi rutinitas yang wajib,” kenang Sjakon. Bahkan, sampai mereka SMA, ayahnya sering ngotot mengajak mereka pergi bersama ke vila di Tugu, Puncak. “Sampai SMA, kami selalu berangkat sama-sama ke vila itu,” sambungnya. Saat-saat berdekatan dengan anak-anaknya itu, Julius menyampaikan filosofi dan prinsip hidupnya.

Dalam proses hidup mereka, menurut Sjakon, mereka menjalani apa adanya hidup mereka. “Peran kami yang paling penting sebagai putranya adalah meyakinkan beliau waktu yang tepat ketika menjual Bank Niaga di tahun 1997,” paparnya

Di kalangan dokter mata, terutama spesialis retina, nama Sjakon bergaung keras. Sebelum mendirikan KMN, selama 10 tahun ia menjadi konsultan penyakit selaput saraf mata di Jakarta Eye Center. Bahkan prestasi alumni Research Fellowship in Cornea and External Eye Diseases, Prof. John W. Chandler, Universitas Winconsin, Madison, di bidang vetrio-retina ini, menggema sampai ke Singapura dan Malaysia. Kerja kerasnya memang telah membuahkan hasil. Dan, itu diakuinya karena dipicu oleh komitmen pribadi.

Usai menimba ilmu di Australia, Sjakon membuat komitmen bahwa 6 bulan ke depan ia harus dikenal oleh seluruh dokter mata di Jakarta. Dalam setahun dikenal oleh dokter mata di seluruh Indonesia dan dalam waktu tiga tahun dikenal secara regional. Ia yakin bisa mencapai target itu karena subspesialisasi retina masih langka. “Saya kejar bidang ini dan saya terus berusaha ada di depan,” katanya.

Menjadi yang terbaik di bidangnya memang menjadi ajaran ayahnya. Keinginan sang ayah ini tercermin dari ketekunannya dalam bekerja. “Ayah bangun jam empat pagi untuk kerja. Jam 10 malam tidur,” cerita Sjakon. Julius tidak pernah memberi dirinya waktu untuk istirahat. Namun dia tetap mementingkan keluarganya di atas semua. Sjakon mengenang, sang ayah tidak senang ketika anaknya terlihat terlalu santai. “Saya dimarahi kalau berburu terus, padahal saya dikenalkan kegiatan ini oleh ayah juga,” katanya. Desakan yang paling ia rasakan dari ayahnya yaitu menyelesaikan kuliah dan menjadi yang terbaik. Sang ayah masih sempat menanyakan ke para dosen menyangkut permasalahan anaknya.

Memberi teladan. Itulah yang juga senantiasa diterapkan Retno dan Suharto supaya anak-anaknya mampu menjadi yang terbaik di bidang apa pun yang dipilih mereka. Metode yang mereka berdua gunakan dalam mendidik anak sangat sederhana: memberi contoh, perhatian dan cinta. “Lha, bagaimana anak bisa nurut kalau tidak ada contoh yang baik dari orang tuanya. Bagaimana anak bisa baik, kalau tidak ada perhatian dan kasih sayang yang tulus dari orang tuanya,” ujar Retno. Sementara nilai-nilai filosofi yang senantiasa ditanamkan kepada anak-cucunya, lanjut Suharto, adalah prinsip kejujuran, kemandirian dan selalu mau mensyukuri hasil yang diperoleh. “Menurut kami, anak yang berhasil adalah yang bisa menjadi dirinya sendiri, be your self dan bisa belajar dari kegagalannya,” Suharto menegaskan.

Memberi teladan dengan perilaku juga diyakini Soegeng Sarjadi lebih baik ketimbang menasihati dengan jutaan kata. “Jangan cuma kata-kata, beri teladan dengan contoh,” ungkap salah satu pemilik Grup Kodel ini. Ngeli tanpo keli – mengalir tanpa terbawa arus — adalah pegangan yang diwariskan kepada ketiga putrinya. Di matanya, anak-anak mempunyai kehidupan sendiri, orang tua jangan terlalu cawe-cawe. Apa pun pilihan anaknya, Soegeng merasa itu yang terbaik yang diberikan Tuhan. Ia mengaku tidak punya hak untuk kecewa bila tidak ada satu pun anaknya yang tertarik melanjutkan bisnisnya yang telah dibangun puluhan tahun silam. “Mereka mempunyai pilihan hidup sendiri,” ungkap kelahiran Pekalongan, yang 5 Juni mendatang berusia 63 tahun ini. Meski anak-anaknya tak seorang pun yang mengikuti jejaknya, Soegeng patut bersyukur. Anak-anaknya tetap berjalan di rel yang diinginkan orang tua. Mereka tak neko-neko, apalagi sampai berbuat kriminal yang mencoreng nama baik keluarga.

Tak semata perilaku “miring”? yang membuat anak-anak konglomerat tak selalu menuai sukses. Ada sindrom, generasi pertama membangun, generasi kedua memanen, dan generasi ketiga melelang atau menjual aset. Toh, kalau pun mereka terjun di bisnis keluarga, bisnis yang dibangunnya sendiri — biasanya berkongsi dengan teman-teman kuliahnya — pun tak selalu kinclong. Di mata pengamat SDM dari MMUI, Budi W. Soetjipto, faktor kegagalan yang paling dominan adalah karena minat dan motivasi sang penerus; kompentensi untuk menjalankan bisnis; dan budaya perusahaan. Untuk menghindari kegagalan, yang harus dipersiapkan orang tua adalah bagaimana menumbuhkan minat anak atau generasi penerus terhadap bisnis yang dijalankan. Ia memuji langkah Mooryati yang kerap mengajak anaknya melihat dari dekat ajang pemilihan Putri Indonesia, dan bahkan dilibatkan menjadi juri untuk menumbuhkan minat anaknya pada bisnis kecantikan.

Sementara itu, untuk mengasah kompetensi sejatinya sudah umum dilakukan para konglomerat dengan memagangkan anak-anaknya di perusahaan sendiri atau di perusahaan koleganya. Untuk budaya kerja, Budi menyarankan sebaiknya sang anak atau cucu tidak langsung menempati posisi bos. Bisa saja ditempatkan di level menengah sehingga bisa memahami budaya perusahaan.

Keberhasilan atau kegagalan dalam regenerasi sangat tergantung pada interes dan motivasi generasi penerus. Juga, perlu diperhatikan adanya friksi yang berbeda antara anak dan orang tuanya. Meskipun anaknya terlihat mampu, anak buah orang tuanya yang sudah lama menekuni bisnis itu sudah terbiasa dengan gaya kepemimpinan bapaknya. “Ini tercermin di Jawa Pos dan Grup Djarum di mana gaya kepemimpinan anak berbeda dari orang tuanya,” ungkap Budi.

Agar sukses, yang perlu dipersiapkan orang tua, menurutnya, adalah pendidikan dan pengetahuan mengenai bisnisnya. Generasi penerus juga perlu dilibatkan dalam kegiatan perusahaan, tetapi yang paling penting orang tua jangan terlalu memaksakan kehendak untuk melibatkan anaknya dalam mengelola perusahaan. “Paling tidak, sebelum melibatkan generasi penerus, mereka harus memperkenalkan bisnisnya dulu,” tambah Budi.

Dalam telaah yang berbeda, pengamat SDM dari Prasetiya Mulya, Sammy Kristamulyana, menilai figur ibu sangat penting dalam kaderisasi di perusahaan keluarga. Karakter perusahaan keluarga memang selalu mempunyai tokoh sentral sebagai panutan. Bila konglomerat memiliki istri yang peduli mengurus anak, ia menduga kebanyakan akan berhasil. Faktor lain yang memengaruhi sukses- tidaknya kaderisasi adalah pergaulan orang tuanya sendiri. “Kalau bergaul hanya dengan kalangan bisnisnya, tidak akan banyak berkembang,” kata Sammy. Namun bila bergaulnya dengan kalangan intelektual akan kena imbas dan mulai memikirkan untuk melakukan perencanaan menyekolahkan anaknya ke luar negeri.

Faktor ketiga yang perlu diperhatikan, “Jangan lama-lama menyekolahkan anak di luar negeri,” Sammy menyarankan. Sebaiknya bila menyekolahkan anak ke luar negeri hanya sampai tingkat sarjana, kemudian dipanggil pulang untuk membantu orang tuanya. Sammy melihat beberapa konglomerat yang memberikan keleluasaan anaknya untuk mengasah kemampuan sekaligus mencari pengalaman di tempat lain yang punya track record, jelas sebagai langkah bijak. “Setelah itu, baru dipanggil untuk bergabung ke perusahaan yang dikelola orang tuanya. Kalau perlu mulai dari level yang paling bawah dan perlahan-lahan naik,” lanjutnya.

Senada dengan Budi, ia juga mewanti-wanti agar para konglomerat tidak memaksakan anaknya yang tidak mampu untuk menggantikannya. Meskipun perusahaannya sudah kepalang besar, harus menyerahkan kepada profesional. “Jangan sampai anak yang tidak bakat bisnis dipaksakan untuk melanjutkan bisnis keluarga,” katanya. Karena itu, sangat perlu memperkenalkan kepada mereka sejak awal bisnis yang digeluti orang tuanya.

Sammy juga mengamati, ada kekurangan besar yang menghinggapi generasi baru konglomerat. Para konglomerat generasi Sudono Salim dkk. memiliki unsur perkawanan sangat erat dan perkembangan bisnis di-sharing dengan sangat insentif. Namun perkawanan di kalangan anak-anak konglomerat ini tidak terlihat cukup erat. “Bisa jadi sudah terpengaruh pendidikan di luar yang lebih mengarahkan pada persaingan. Ini yang perlu digalang oleh the next generation enterpreneur, ” saran Sammy.
+++++++++++++++
Axton, Si Penerus Kerajaan Bisnis Grup Salim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar